Materi Aswaja Kelas
VII
Nama : Radiant Vagary
Nim : 2021216015
Perguruan Tinggi : IAIN Pekalongan
BAB I
NAHDLATUL ULAMA
A.
Arti Nahdlatul Ulama
Nahdhatul `Ulama secara epistimologis mempunyai arti
“Kebangkitan Ulama” atau “Bangkitnya Para Ulama” , sebuah organisasi yang
didirikan sebagai tempat berhimpun seluruh Ulama dan umat Islam. Sedangkan
menurut istilah Nahdhatul `Ulama adalah jam`iyah Diniyah yang berhaluan
Ahlussunah wal Jama`ah yang didirikan di Surabaya oleh para ulama pondok
pesantren pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari
1926. Di antara para ulama pendiri jamiyyah Nahdhatul `Ulama adalah:
1. KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (Tebuireng Jombang)
2. KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang)
3. KH. Bisri Syamsuri (Denanyar Jombang)
4. KH. Raden Asnawi (Kudus)
5. KH. Makshum (Lasem)
6. KH. Ridlwan (Semarang)
7. KH. Nawawi (Pasuruan)
8. KH. Nahrowi (Malang)
9. KH. Ridlwan (Surabaya)
10. KH. Mas Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
11. KH. Abdullah Ubaid (Surabaya)
12. KH. Abdul Halim (Cirebon)
13. KH. Ndoro Munthaha (Bangkalan, Madura)
14. KH. Dahlan (Kertosono)
15. KH. Abdullah Faqih (Maskumambang, Dukun, Gresik)
Atas usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz, Jamiyyah yang
didirikan oleh ulama Ahlus sunnah wal jamaah ini diberi nama Nahdhatul
Ulama, yang disingkat NU. Nama ini dipilih dengan beberapa alasan, antara lain:
1. Nahdhatul `Ulama berarti “kebangkitan para ulama”
2. Istilah “kebangkitan” mengandung arti yang lebih aktif dari pada
“Pwerkumpulan” atau “perhimpunan”.
3. Yang bangkit dan diajak untuk selalu bangkit adalah para ulama. Mereka
adalah panutan ummat, sehingga dengan kebangkitan ulama ummatpun akan
mengikutinya.
4. Dengan kebangkitan yang dipimpin oleh para ulama, maka arah kebangkitan
jelas untuk kejayaan islam dan kaum muslimin.
B. Arti Lambang Nahdlatul Ulama
Setiap organisasi atau perkumpulan pasti mempnyai
lambang sebagai simbul yang menggambarkan asas (dasar), tujuan dan cita-cita
dari organisasi tersebut. Nahdhatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan juga memiliki lambang yang ditetapkan sejak awal
berdirinya.
Lambang Nahdhatul `Ulama
dicptakan oleh KH. Ridlwan Abdullah, seorang ulama yang mempunyai keahlian
dalam bidang seni lukis dan kaligrafi. Sudah menjadi kebiasaan para ulama bahwa
untuk mewujudkan harapannya, selalu diawali dengan istikharah. Demikianlah yang
dilakukan oleh KH. Ridlwan Abdullah ketika diminta untuk menciptakan lambang
Nahdhatul `Ulama (NU). Sehingga lambang Nahdhatul `Ulama (NU) bukan sekedar
hasil perenungan, namun lebih dari itu adalah hasil istikharah dari
penciptanya.
Lambang Nahdhatul `Ulama terdiri atas gambar bola
dunia yang dilingkari tali tersimpul, dan dikitari oleh sembilan bintang. Lima
bintang terletak melingkar dai atas garis katulistiwa yang terbesar di
antaranya terletak ditengah atas. Sedangkan empat bintang lainnya terletak
melingkar dibawah katulistiwa. Nama Nahdhatul `Ulama ditulis dalam huruf arab
yang melintang dari sebelah kanan bola dunia kesebelah kiri. Semua terlukis
dengan warna putih di atas dasar hijau.
Adapun arti dan maksud dari lambang Nahdlatul Ulama
adalah:
1. Gambar Bola Dunia : Melambangkan bumi tempat kita hidup, berjuang dan
beramal didunia ini. Di samping itu, mengingatkan bahwa asal mula kejadian
manusia adalah dari tanah dan akan kembali ketanah.
2. Gambar Peta : yang tampak pada bola dunia adalah peta Indonesia yang
melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Indonesia dan berjuang untuk
kejayaan Negara Republik Indonesia.
3. Gambar tali bersimpul: melambangkan persatuan yang kokoh dan ikatan
dibawahnya berarti hubungan antara sesama manusia (hamlum minan nas) dan antara
manusia dengan Tuhan (Hablum minallah). Sedangkan jumlah untaian talinya
sebanyak 99 buah yang melamangkan Asmaul Husna.
4. Gambar bintang besar di atas garis katulistiwa melambangkan kepemimpinan
Nabi Muhammad s.a.w. Sedangkan empat bintang lainnya melambangkan kepemimpinan
KH.ulafaur Rasyidin. Adapun empat bintang dibawah garis katulistiwa
melambangkan madzhab empat, yaitu (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Jumlah
bintang seluruhnya ada sembilan buah yang melambangkan wali songo sebagai tokoh
penyebar agama islam di pulau Jawa.
5. Tulisan Huruf Arab “Nahdlatul Ulama” : menunjukkan nama organisasi
yang berarti “Kebangkitan Ulama”.
6. Warna Dasar Hijau: melambangkan Kesuburan tanah air Indonesia,
sedangkan warna gambar dan tulisan putih melambangkan kesucian.
Dari uraian arti lambang tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan islam (jamiyyah
diniyah islamiyah) yang selalu setia mengikuti ajaran Nabi Muhammad s.a.w. para
sahabatnya dan menganut salah satu dari madzhab empat. Di samping itu Nahdlatul
Ulama didirikan sebagai lanjutan dari perjuangan wali songo dalam menyebarkan
ajaran islam di Indonesia.
C. Tujuan Nahdlatul Ulama
Tujuan merupakan bagian yang terpenting
dalam suatu organisasi. Karena itu tujuan organisasi harus dirumuskan dengan
jelas, sehingga tidak terjadi penyimpangan dari kehendak dan cita-cita yang
telah ditetapkan oleh para pendiri (muassis) nya.
Sesuai sifat dasarnya sebagai jamiyyah diniyah
ijtimaiyah yang berhaluan Ahlus sunnah wal jamaah, Nahdlatul Ulama senantiasa
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman, namun tetap berada dalam
jalur yang digariskan oleh Khittah Nahdliyah. Adapun tujuan Nahdlatul Ulama
adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlus sunah wal jamaah dan
menurut salah satu dari madzhab empat untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang
demokratis dan berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Dari rumusan tersebut di atas, maka Nahdlatul Ulama
sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Terwujudnya kesejahteraan kehidupan masyarakat
2. Terwujudnya penegakan keadilan
3. Terwujudnya system demokrasi yang berakhlakul karimah.
D. Usaha-usaha Nahdlatul Ulama
Untuk mewujudkan tujuannya, Nahdlatul Ulama
(NU)melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
1. Di bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran islam menurut faham
Ahlussunah wal Jama`ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah
dan amar ma`ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwwah islamiyah.
2. Di dalam bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan
terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan
kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi
muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta
berguna bagi agama, bangsa dan negara.
3. Di dalam bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi
dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati
hasil-hasil pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi
kerakyatan.
4. Di dalam bidang sosial, mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan
batin bagi rakyat Indonesia.
5. Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna
terwujudnya Khaira Ummah.
Semua kegiatan dan usaha yang diperjuangkan
oleh Nahdlatul Ulama yang tersebut di atas, bukan semata-mata untuk kepentingan
warga NU. Akan tetapi untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera.
BAB II
PENDIRI NAHDLATUL ULAMA
Tokoh-tokoh di balik berdirinya Nahdlatul Ulam
A. KH. Muhammad Khalil
A. KH. Muhammad Khalil
KH. Muhammad Khalil bin KH. Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin
KH.Muharram bin KH. Asrar Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon.
Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang
memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid
Jamaluddin al-Kubra.
KH. Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil akhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820
Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten
Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan
digembleng langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa beliau
ta’lim/belajar diberbagai pondok pesantren. Sekitar tahun 1850-an, ketika
usianya menjelang tiga puluh, KH. Muhammad Kholil belajar kepada KH. Muhammad
Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau
pindah ke Pondok pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke
Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau
belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari
Keboncandi. KH. Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga
dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH. Muhammad Kholil telah
menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab).
disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca
alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran. Pada 1276
Hijrah/1859 Masihi, KH. Muhammad Kholil Belajar di Makkah. Di Makkah KH.
Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama
Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin
Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad
al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani . Beberapa sanad
hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin
Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Syeikh Muhammad Kholil Sewaktu
Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH. Hasym Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan
KH. Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru
sesama Rekannya, dan KH. Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara
mereka.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan
sehari-hari, Syeikh Muhammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin
kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu
itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani,
Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang)
menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang
digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak
ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Syeikh Muhammad Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren
di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar
nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah
diperolehnya, Syeikh Muhammad Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di
Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab
terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya.
Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah
oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus
peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu
memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Makkah
telah berumur lanjut, tentunya tidak melibatkan diri dalam medan
perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok
pesantren yang didirikannya. Syeikh Muhammad Kholil sendiri pernah ditahan oleh
penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan
Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh
kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak
sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri .
Dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama
kiai-kiai besar seperti Bisri Syamsuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan
Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan
tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk
menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau
jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak
besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan
mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang,
konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita
bergantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana,
kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern.
Kesaktian lain dari Mbah KH. Kholil, adalah
kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu
bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat
berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba
baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak
mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki
itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah KH.
Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah
laut, langsung ditolong Mbah KH. Kholil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat
memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam
sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH. Ghozi
yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil
al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng,
Jombang, dan penggagas Nahdhatul Ulama / NU). KH. Abdul Wahhab Hasbullah
(pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang) KH. Bisri Syamsuri (pendiri
Pondok-pesantren Denanyar) dan KH. Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri
Pondok-pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh
Pondok-pesantren Asembagus Situbondo).
1. Geo Sosiologi Politik
Masa hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak
perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil
melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil mempersiapkan murid-muridnya untuk
menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat
dan bangsa yang lahir dari tangannya, salah satu di antaranya: Kiai Hasyim
Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, Kiai Khalil tidak
melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik
layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi
kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil
ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya
Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda, karena ada kejadian-kejadian
yang tidak bisa mereka mengerti, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara,
sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin
menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak yang meminta
ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan
sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.
2. Kiprahnya Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama
Peran Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya
tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari
muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun
demikian, satu yang perlu digaris bawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh
sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada
tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang
bernama Tashwirul Afkar(potret pemikiran), yang didirikan oleh
salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada waktu itu: Kiai Wahab
Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan
yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan
maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok
diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang
lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam
berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikanJam’iyah itu.
Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik
ke semua lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling
berpengaruh pada saat itu.
Namun, Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta
menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim
melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu
tak kunjung datang.
Sementara itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang
juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung
tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri,
dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan
berikan tongkat ini kepadanya.” Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah
tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini:
وَمَا تِلْكَ
بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَ(17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ
بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرَى(18)قَالَ أَلْقِهَا يَا
مُوْسَى(19)فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأُولَى(21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى
جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى(22) لِنُرِيَكَ مِنْ
آيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)
” Pesan Kiai Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai
Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim.
Mendengar ada utusan Kiai Khalil datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu,
dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk
mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda
berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai
Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai
Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan
Kiai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim
tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak.
Kiai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan
teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan
Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun
telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai
pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan
tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan Ya
Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,”
tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini
hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama
setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah
belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H.,
“jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul
Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap isyarat adanya
restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih?
Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kiai
Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali
Allah.
3. Respon KH M Khalil Bangkalan terhadap penjajahan Belanda
Madura adalah benteng pertahanan Islam Indonesia.
Dengan pandangan ini, sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura
terdapat seorang ulama yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu
dan agama Islam. Sehingga publik memberikannya julukan Syaikhona. Ialah
syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan.
Kiai Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam
nusantara, yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat
dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak perjuangan melawan Belanda. Namun
demikian, kiai Khalil tidak langsung terlibat dalam medan pertempuran fisik,
melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai tokoh kharismatik yang
memiliki daya penggerak massa. Pondok pesantrennya, bukan hanya sebagai tempat
mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering dijadikan tempat untuk
mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial Belanda. Bahkan para pejuang
dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren kiai Khalil sebagai tempat
penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20 tahun sebelum proklamasi
kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan intelektual nusantara, secara nyata,
kiai Khalil menolak bahkan ikut terlibat mendorong masyarakat untuk mengusir
penjajah Belanda dari bumi nusantara.
4. Metode pengajaran KH M Khalil Bangkalan
Sebagaimana metode dan gaya pengajaran gurunya,
tuan guru Dawuh, ternyata Khalil Bangkalan juga melakukan hal yang sama. Cara
mengajarnya di sembarang tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi
pelajaran tidak harus dipesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan
dengan santrinya, terkadang sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas
bukit.
Namun, karena KH. Khalil Bangkalan memiliki lembaga
pendidikan pondok pesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian
pelajaran dengan sistem sorogan, bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Khalil Bangkalan dapat kita amati
dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan Mohammad Rifaí,
bahkan ketika KH. Khalil Bangkalan terjun dan melihat
masyarakat Bangkalan dan sekitarnya, kerap memberikan pendidikan
kepada para santri dan masyarakat. Model pembelajarannya lahir dari lingkungan
hidup dan alam sekitarnya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang dilakukan
kiai Khalil Bangkalan tidak selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di
masjid dan surau. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya di lakukan di
lingkungan nyata yang lebih luas. Namun yang jelas, model pengajaran
dengan uswah hasanah menjadi penghias model pendidikan ala
kiai Khalil Bangkalan.
5. Peta konsep pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata peta memiliki makna gambar lukisan, diagram
atau bagan. Sedangkan pemikiran dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata
penalaran, yang memiliki makna; proses pemikiran secara logis untuk menarik
kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di sini adalah,
diagram pemikiran logis tentang pendidikan Islam oleh KH M Khalil Bangkalan.
Sebagai salah satu tokoh yang tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan
proses islamisasi yang terjadi di tanah jawa dan Madura. Tentunya dengan
mendirikan pondok pesantren kademangan sebagai tempat penggodokan kader-kader
muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Peta Pemikiran kiai M Khalil Bangkalan; bertumpu pada
Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya ilmu alat/ ilmu
nahwu-sharrof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu ahlak, pesantren
dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang bersikap kritis dan
menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai bukti imperialisme
eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul serta ketaatan
kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang dipeganginya.
6. Tarekat dan Fiqh
Kiai Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih
daripada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia
lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai
Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura,
sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20,
seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran
ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah
Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai
keterlibatan Kiai Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal
pertamakali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan
mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah
satu Kiai yang dapat menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada
saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil.
Memang, Kiai Khalil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya,
sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu
kanuragan, dan tidak terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara
Kiai Khalil dengan kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai
mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi
penganut tarekat. Kiai Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke
duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai Khalil
menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai
batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak
menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah,
tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola
dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil tersebut.
7. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur
yang menyebutkan tentang karya Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil
meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur
yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil diantaranya:
Pertama, Kiai
Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan
alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya
sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi
saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan
pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Kiai
Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai Hasyim
(Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri Pesantren
Tambakberas), Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kiai
Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil,
banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain
Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan
kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi
pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri.
Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian
besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan
para murid Kiai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kiai
Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun karena
usia lanjut. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih
mempunyai sanad dengan pesantren K.H. Muhammad Khalil.
Diantara peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan
atau kitab yang pernah di tulis oleh K.H. Muhammad Khalil diantaranya adalah:
1) Kitab silah fi bayannikah
2) Kitab al Matnus Syarif.
3) Kitab terjemah Alfiyah
4) Kitab Asmaul Husna
5) Shalawat kiai Khalil Bangkalan
6) Wirid-wirid kiai Khalil Bangkalan
7) Lembaran berupa do’a-doá dan hizib
B. KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia.
Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren.
Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga
mengajar para santri-santri membaca buku-buku ilmu pengetahuan umum,
berorganisasi, dan berpidato. Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim
Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu
Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari
Jaka Tingkir).
1. Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh
yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren
yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah
seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Layyinah dan
dikaruniai enam anak:
1) Halimah (Winih)
2) Muhammad
3) Leler
4) Fadli
5) Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri
ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun
sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1) Nafi’ah
2) Ahmad Saleh
3) Muhammad
Hasyim
4) Radiyah
5) Hasan
6) Anis
7) Fatonah
8) Maimunah
9) Maksun
10) Nahrowi, dan
11) Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24
Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam
kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyaroh
yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai
Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula
ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan
wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya
di Desa Gedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti
kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota Jomabng
dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama
Asy’ariyah. Principle of early learning (sulit tergantikan dari unsur-unsur
asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan
beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau
nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren
dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada
santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban
dan saling membantu.
2. Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama
kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa
perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat
memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara
autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan
akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan
keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni
belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.
3. Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu,Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa,
Khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang,
Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban
(sekarang diasuh oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah
bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. M. HasyimAsy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai
Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab,
bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil
membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah
cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai
Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai
Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan,
kesabaran, dan keikhlasan, Akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut.
Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari
kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik
semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang.
Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan
Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU) yang dibawa oleh KH. As’ad Syamsul Arifin
(pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah
Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), Akhirnya beliau kembali ke tanah
Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan KH. Ya’qub
yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub
semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk
dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu
baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak
lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah
untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan
ibadah haji, di Makkah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah
dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh
disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan
sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di
tanah suci Makkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, beliau dikaruniai
putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati
itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh
hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke
Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang
ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah
melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti
dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa
kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai Akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
4. Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau
untuk kembali lagi pergi ke kota Makkah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau
berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis.
Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak
tanah suci Makkah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih
menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah
pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti
Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan
makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau.
Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar
sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman,
Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas
Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh. Nawawi Al-Bantani dan Syaikh
Atib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah
sekian tahun berada di Makkah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu
agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, sebagai
bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
5. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M,
beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren
Ngedang yang diasuh oleh mendiang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia
dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto
Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh
Banjar Melati. Akhirnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak
berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana
membangun sebuah pesantren yang dipilihnya, yaitu sebuah tempat di Dusun
Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan.
Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya besar dikalangan masyarakat, akan
tetapi semua itu tidak dihiraukannaya. Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng
(kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam
didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik
didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih
kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah.
Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang Akhirnya berubah
menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M,
didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya,
seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan
beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci
terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang
kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab
shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci
ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong
dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP.
Tebuireng KH. M. Yusuf Hasyim). Pada awalnya santri Pondok Tebuireng yang
pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan
diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng
yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan
Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
6. Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam
berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16
Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah
Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab
Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya:
“Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad
bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa
saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih
menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun
menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang
mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh
Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi.
Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut
pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau
melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka
kesempatan musuh untuk mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin
memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar
sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini,
melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu
beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah
organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal
jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang
belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika
memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu
dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan
keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada KH.ittahnya.
7. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan
juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam
perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah
belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau
menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada
santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogikan dengan kejadian
yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya
dengan tiga hal, yaitu:
· Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
· Harta benda yang berlimpah-limpah
· Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi
Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan
ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan
mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhirnya KH. M. Hasyim Asy’ari
mengaKH.iri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan
menjadikan tauladan dari perbuat Nabi Muhammad SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, memang
merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau
sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau
mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi
cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam
tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu
dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober
1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai
Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan
di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Setelah
Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH.M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua
umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu
dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia
pada tahun 1947.
8. Keluarga Dan Sisilah
Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren
Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai
Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari
perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
· Hannah
· Khoiriyah
· Aisyah
· Azzah
· Abdul Wahid
· Abdul hakim (Abdul Kholiq)
· Abdul Karim
· Ubaidillah
· Mashurroh
· Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri
menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok
Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua
dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1) Abdul Qodir
2) Fatimah
3) Chotijah
4) Muhammad Ya’kub
9. Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan)
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran
Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaka
Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng)
yang bergelar Brawijaya VI.
10. Wafatnya Sang Tokoh
Namun kemudian, Kiai
Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin
tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu,
Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang
kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.
Sehingga para tamu pamit keluar.
Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai
Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan
tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak
lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan
diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan
tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat,
misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara
pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka
Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim
terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya,
namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH. M. Hasyim Asy’ari wafat
pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07
Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian beliau ketempat peristirahatan terakhir,
diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan
masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan
seperjuangan, para ulama, warga NU, dan Khususnya para santri Tebuireng. Umat
Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau
di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, sahahabat dan
saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang
pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau, yakni, “berjuang terus dengan
tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
11. Karya Kitab Klasik
Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah
kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri,
mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan.
Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikiranya dapat dilacak
dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya
dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya.
Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun
yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman,
mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah
hidupnya.
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian
mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar.
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah,
Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan
thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian
tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar
didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat,
rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan Syaikh.
Abdullah bin yasir Pasuruaan.
KH.
Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Beliau lahir pada
bulan Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur dan wafat pada 29
Desember 1971. Beliau merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya
kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk
itu kyai Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) di Surabaya pada 1941.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas.
Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan
topik-topik yang dibicarakan harus mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang
luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik
perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu
dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang
dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama
pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi
antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda
dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan
progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga
menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten,
Surabaya, Kyai Wahab bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam
organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan
badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan
dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya.
Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syamsuri Jombang, Kyai
Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan
Kyai Cholil Lasem.
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori
kyai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting kyai
Wahab kepada kaum muslim Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada
generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat
dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar
keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum
muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau
analisis keislaman. Kini, di tengah nuansa keberagamaan masyarakat yang
terjebak pada dogmatisme, kita merindukan hadirnya kembali sosok kyai Wahab
Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya yang telah mencerahkan dan mencerdaskan
umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
1. Pemikir dan Pejuang
Sepulang dari Mekkah, Wahab dinikahkan
dengan putri kiai Musa, Maimunah. Setelah menikah, Wahab menetap di Kertopaten
Surabaya serta mulai aktif di kegiatan kemasyarakatan. Bukan Wahab
jika tak gelisah saat melihat kenyataan sosial waktu itu, apalagi Indonesia
dalam "cengkraman" penjajah Belanda. Kiai Wahab lalu berpikir keras
bagaimana caranya menyumbangkan pikiran untuk memperbaiki keadaan. Dari
sinilah, Wahab bersama Kiai Mas Mansur, kawan mengaji di Mekkah kemudian
membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya
(1914)
Awalnya, kelompok ini hanya mengadakan kegiatan dengan
peserta terbatas. Tapi berkat prinsip kebebasan yang diterapkan dan topik yang
dibicarakan menjangkau lingkup kemasyarakatan, dalam waktu singkat kelompok
yang didirikan bersama Mas Mansyur ini sudah sangat populer dan menarik
perhatian di kalangan pemuda. Bahkan tak sedikit tokoh Islam dari berbagai
kalangan bertemu di forum ini membicarakan permasalahan pelik yang dianggap
penting (urgen) untuk dibahas.
Selain membidani lahirnya Tashwirul Afkar, masih
bersama Mas Mansur, Wahab menghimpun ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air). Dari organisasi yang memiliki badan hukum 1916 ini,
Wahab mendapat restu dari ulama, di antara adalah kiai M. Bisri Syamsuri
Jombang, kiai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, kiai H. Alwi Abdul Aziz, kiai
Ma'shum dan kiai Cholil Lasem.
Adapun untuk menampung aspirasi kalangan pemudanya,
disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang didirikan tahun 1924,
yang di dalam wadah itu ada nama Abdullah Ubaid. Organisasi ini, kemudian
menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Ansor yang berdiri tahun 1934. Dalam
kelompok ini, Wahab mulai memimpin dan menggerakkan gelora pemikiran
berdasarkan paham agama dan jiwa nasionalisme. Rupanya, duet Wahab-Mas Mansur
tidak sehaluan terus. Akhirnya, retak dan keduanya pun berpisah. Jika tidak,
mungkin "jalan sejarah" ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam
Indonesia akan "berbicara lain". Tetapi, kemunduran Mas Mansur tak
menjadikan Wahab patah arang. Jiwanya yang bebas, selalu ingin mencari
penyelesaian masalah, menjadikan Wahab melakukan kontak dengan tokoh-tokoh
pergerakan dan keagamaan. Karena itu, saat kaum pelajar Surabaya mendirikan
Islam Studie Club, yang banyak dihadiri kaum pergerakan, Wahab tak
menyia-nyiakan kesempatan. Dari forum inilah, Wahab akhirnya berkawan akrab
dengan Dr. Soetomo.
Sudah jadi hal umum dan lumrah jika di dalam sebuah
organisasi selalu ada gesekan. Demikian juga dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul
Wathan, Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di mana Wahab
berada dalam ruang dan lingkup organisasi tersebut. Kendati demikian Wahab
bersikap terbuka. Setidaknya, di situlah perjuangan kiai Wahab diasah sehingga
tak membuat kiai satu ini tergilas zaman.
2. Mendirikan NU
Tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh
Komite Hijaz, di antaranya adalah kiai Wahab, kiai M. Bisri Syamsuri, kiai
Ridwan (Semarang), kiai Haji Raden Asnawi Kudus, kiai Nawawi Pasuruan, kiai
Nachrowi Malang, serta kiai Alwi Abdul Aziz Surabaya mengadakan urun rembuk.
Dari hasil itu, disimpulkan dua hal pokok.
Pertama, mengirimkan
delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk meminta kepada Raja Saud supaya
hukum-hukum menurut mazhab 4; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali tetap
mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah serta kekuasaan raja.
Kedua, membentuk jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan syariat Islam yang berhaluan ke
salah satu empat mazhab. Adapun nama "Nahdlatul Ulama" itu merupakan
usulan dari KH. Alwi Abdul Aziz. Pada saat penyusunan kepengurusan, kiai Wahab
tak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar. Wahab merasa cukup untuk sebuah
jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Sedang jabatan tertinggi
organisasi baru ini diserahkan kepada KH. Hasyim Asy'ari, sedangkan Presiden
(Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo. Itulah, kiprah Wahab dalam memberi
sumbangan saat Nahdlatul Ulama lahir.
Sedang di masa awal kemerdekaan, Wahab bersama
kalangan pergerakan lain, seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, dan Dr
Rajiman Wedyodiningrat duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, lalu berkali-kali
duduk di kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Peran cukup menonjol
dari kiai Wahab dalam hal ini sebagai negosiator antara pihak NU dan
pemerintah. Sebagai seorang negosiator, wajar saja jika Wahab kemudian sangat
dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya.
Gebrakan lain di tubuh intern NU, ketika bersama-sama
tokoh muda lainnya, seperti; kiai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU
sebagai partai politik untuk bersaing dengan partai lain, yang lebih dahulu
mapan dalam gelanggang politik. Usul kiprah NU sebagai partai itu diterima
secara bulat dalam Muktamar NU 1952.
Karena itu, tak lama kemudian dalam Pemilu 1955, NU
ikut pemilu dan berhasil mengukir sejarah. Sebab NU keluar sebagai salah satu
partai besar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang, Wahab bukan satu-satunya
tokoh penting dalam membesarkan NU, tapi peranan Wahab cukup menonjol. Apalagi,
Wahab dikenal kompeten sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang piawai
dalam pergolakan, dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI
(Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam
itu. Di sini, Wahab terlibat pergumulan dengan tokoh-tokoh, seperti Mas Mansur,
Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir
Syarifuddin dan lain-lain.
3. Membangun Tradisi Jurnalistik di NU
Apakah kiprah Wahab cuma sampai di situ? Ternyata
tidak! Sebab, bukan sosok kiai Wahab kalau tak selalu memutar otak, gelisah
ketika punya cita-cita brilian namun belum bisa terwujud. Karena itu, saat NU
belum berkiprah di dunia percetakan dan jurnalistik, kiai Wahab bersama
tokoh-tokoh NU lain, membeli sebuah percetakan, serta gedung untuk dijadikan
pusat aktivitas NU, yang terletak di Jalan Sasak 23 Surabaya.
Dari gedung ini, dirintis tradisi jurnalistik modern
dalam NU. Semua ini semata-mata dilandasi pemikiran Wahab yang sebenarnya amat
sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU agar secara lebih efektif dan
efisien bisa diterima umat, sebab selama itu kiprah dakwah dan penyebaran
gagasan dan pemikiran di tubuh NU hanya dijalankan melalui "dakwah panggung"
dan pengajaran di pesantren-pesantren.
Dari percetakan itu, dalam waktu berikutnya terbitlah
majalah tengah bulanan dengan nama Suara Nahdlatul Ulama. Hampir selama tujuh
tahun, majalah satu ini dipimpin oleh kiai Wahab. Dari teknis redaksional majalah
ini, lalu disempurnakan kiai Mahfudz Siddiq, menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di
samping itu, terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan.
Tidak cuma itu, sebab masih ada Terompet Ansor yang dipimpin Tamyiz Khudlory
dan majalah bahasa Jawa Penggugah, dipimpin kiai Raden Iskandar yang setelah
itu digantikan oleh Saifuddin Zuhri.
Tak dapat diingkari, dari kiprah beberapa penerbitan
di atas kemudian dalam sejarah dan tradisi kepenulisan di NU, boleh dikata
telah melahirkan jurnalis-jurnalis, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri serta
Mahbub Junaidi. Juga, NU sendiri memiliki surat kabar prestisius seperti Duta
Masyarakat.
Karena itu, sekali lagi, posisi dan peran kiai Wahab
dalam NU adalah memegang andil besar karena meletakkan dasar-dasar organisasi
NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar
struktur Syuriah dan Tanfidziyah di NU, jurnalistik sampai siasat bertempur di
"medan perang".
Mungkin benar yang pernah diucapkan oleh kiai Wahab,
yang sampai sekarang masih populer, "Kalau kita mau keras harus punya
keris." Keris dalam hal ini diibaratkan sebagai suatu kekuatan. Kekuatan
di sini, tentu saja tak hanya kekuatan dari segi fisik, melainkan kekuatan
politik, militer dan juga kekuatan mental (batin). Sebab kita semua tahu, tanpa
"kekuatan", apa artinya sebuah cita-cita?
4. Hidup dalam Tiga Zaman
Sebagai seorang kiai yang multidimensional, kiai Wahab
dicatat sempat hidup dalam 3 era, zaman pergerakan kemerdekaan, zaman sesudah
proklamasi kemerdekaan (Orla) dan zaman Orde Baru. Sepanjang tiga zaman itu,
Wahab merasakan bagaimana pahit dan getirnya hidup, terutama di zaman
penjajahan. Toh, Wahab dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki kharisma,
namun tidak lepas juga dari ejekan, fitnah dan hinaan. Di samping itu, tentu
saja sanjungan dan kehormatan.
Hampir sepanjang hidup kiai satu ini, perhatian,
pemikiran, harta dan tenaga, sepenuhnya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita
Islam dan bangsa Indonesia ini melalui NU. Tak heran kalau, demi takjim dan
pengabdian penuh itulah, kiai Wahab bahkan tidak pernah absen dalam Muktamar NU
selama 25 kali.
Karena itu, meski sedang sakit, kiai Wahab masih
berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap besar
memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu
ternyata dikabulkan Allah. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kiai
kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU.
Tetapi, empat hari kemudian, setelah Muktamar
Surabaya, ulama yang banyak berjasa dalam organisasi NU serta terhadap bangsa
Indonesia ini, dipanggil Allah, tepat tanggal 29 Desember 1971. Tentunya, tak
ada kata yang pantas untuk melepaskan kepergian kiai satu ini, selain kesedihan
serta rasa kehilangan dan ketakjiman. Lebih dari itu, yang lebih penting adalah
"acuan" bagi umat NU untuk meneladani kiprah dan perjuangan yang
pernah dilakukan dan diukir sepanjang hidupnya. Sebuah kiprah mulia yang tidak
sia-sia untuk diteladani.
KH. Bisyri Syamsuri dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzul
Hijjah 1304 bertepatan dengan 18 September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga
dari pasangan suami istri Kyai Syamsuri dan Nyai Mariah. Pada usia tujuh tahun KH. Bisyri Syamsuri mulai
belajar agama secara teratur yang diawali dengan belajar membaca Al Qur'an
secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar) pada Kyai Shaleh di desa
Tayu. Pelajaran membaca Al Qur'an ini ditekuninya sampai beliau berusia
sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke pesantren Kajen.
Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz yang juga terkenal
penguasaannya di bidang Fiqih. Dibawah bimbingan ulama ini beliau mempelajari
dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, dan hadits.
Pada usia lima belas tahun KH. Bisyri Syamsuri
berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan Bangkalan.
Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke pesantren
Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH. Hasyim Asy'ari beliau mempelajari
berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau menyebabkan tumbuhnya
hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus Syaikh. untuk masa-masa
selanjutnya.
Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada
usia 24 tahun beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau
bersahabat dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah sejak di pesantren Kademangan
sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik KH. Abdul Wahab Hasbullah yang bemama
Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada tahun 1914, KH. Abdul
Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya dengan KH. Bisyri Syamsuri, dan pada tahun
itu juga beliau pulang ke tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada
pilihan untuk kembali ke Tayu atau menetap di Tambakberas. Atas permintaan
keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di Tambakberas Jombang. Setelah dua tahun
menetap dan membantu mengajar di Pesantren Tambakberas, pada tahun 1917 beliau
pindah ke desa Denanyar. Di tempat ini beliau bertani sambil mengajar, yang
kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren. Semula pesantren ini hanya
mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919 beliau mencoba membuka
pengajaran Khusus bagi para santri wanita. Percobaan ini temyata mempunyai
pengaruh bagi perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur. Karena sebelumnya
memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.
KH. Bisyri Syamsuri termasuk salah seorang ulama yang
ikut mengambil bagian dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya
selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kebesaran Nahdlatul Ulama.
Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih menentang penjajahan
Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau ikut terjun di medan
tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan
Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama
Jawa timur yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.
KH. Bisyri Syamsuri adalah seorang ulama besar yang
memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Meskipun demikian beliau dikenal
sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip. Dalam menjalankan
tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam memutuskan
suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum suatu persoalan
yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan
beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.
Di dalam kepengurusan NU semula beliau menjadi salah
seorang a'wan syuriyah. Pada Muktamar NU ke-13 tahun 1950 beliau diangkat
sebagai salah seorang Rais Syuriyah. Kemudian setelah KH. Abdul Wahab Hasbullah
wafat pada tahun 1971 Musyawarah Ulama secara bulat memilih beliau menjadi Rais
Am PBNU sampai beliau wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun.
Makam beliau berada di komplek Pondok Pesantren Manbaul Maarif Denanyar
Jombang, Jawa Timur.
1. Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syamsuri
disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan pesantren.
Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk santri-santri
wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti
perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai
patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“.
Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratus Syaikh
melarang, niscaya Kyai Bisri Syamsuri tidak akan melanjutkan langkah fenomenal
yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu
mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
2. Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai
Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri
di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok pengambilan hukum
agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam
memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam
mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan
masyarakat. Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren
yang dibangunnya di Denanyar.
3. Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika
bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi,
menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua
Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung dalam partai berlambang
ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika
Kyai Bisri Syamsuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil
rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat
rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali hadirnya seorang
“kyai plus“ seperti KH. Bisri Syamsuri. Kapankah kerinduan itu terobati.
BAB III
KEPENGURUSAN NAHDLATUL ULAMA
A. Tingkat Kepengurusan NU
Tingkat kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul Ulama
terdiri atas Pengurus Besar (PB) untuk tingkat pusat, Pengurus Wilayah (PW)
untuk tingkat propinsi, Pengurus Cabang (PC) untuk tingkat Kabupaten/Kota.
Pengurus Cabang Istimewa (PCI) untuk tingkat kepengurusan di luar negeri,
Pengurus Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat Kecamatan, Pengurus Ranting (PR)
untuk tingkat Desa/Kelurahan dan pengurus anak ranting (PARNU).
1. Pengurus Besar NU (PBNU)
Pengurus besar merupakan kepengurusan organisasi
Nahdlatul Ulama ditingkat pusat dan berkedudukan di Ibu kota negara Republik
Indonesia. Pengurus besar merupakan penanggung jawab kebijaksanaan dalam
pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar.
2. Pengurus Wilayah NU (PWNU)
Pengurus Wilayah adalah kepengurusan ditingkat
Porpinsi yang berkedudukan di Ibu kota Propinsi.
Pengurus Wilayah dapat dibentuk, jika terdapat
sekurang-kurangnya 5 (lima) Cabang, dan permintaan pembentukannya disampaikan
kepada Pengurus Besar disertai keterangan tentang daerah yang bersangkutan dan
jumlah cabangnya, setelah melalui masa percobaan 3 bulan. Pengesahan Pengurus
Wilayah dikeluarkan oleh Pengurus Besar.
Pengurus Wilayah berfungsi sebagai koordinator cabang-cabang
di daerahnya dan sebagai pelaksana kebijakan Pengurus Besar untuk daerahnya dan
keputusan-keputusan Konferensi Wilayah.
3. Pengurus Cabang NU (PCNU)
Pengurus Cabang adalah kepengurusan organisasi
Nahdlatul Ulama ditingkat kabupaten/kota yang berkedudukan ibu kotanya.
Sedangkan Pengurus Cabang di luar negeri kedudukannya ditetapkan oleh pengurus
besar. Begitu juga dalam keadaan khusus Pengurus Besar dapat membentuk Pengurus
Cabang di luar ketentuan diatas karena besarnya penduduk, luasnya daerah,
sulitnya komunikasi, atau karena faktor kesejarahan.
Pengurus Cabang dapat dibentuk jika terdapat
sekurang-kurangnya 3 Majelis Wakil Cabang, dan permintaan pembentukannya
disampaikan kepada Pengurus Besar, yang dikuatkan oleh Pengurus Wilayah dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Pengesahan susunan Pengurus Cabang dikeluarkan
oleh oleh Pengurus Besar setelah mendapat persetujuan dari Pengurus
Wilayah.
Pengurus Cabang memipin dan mengkoordinir Majelis
Wakil Cabang dan Ranting-ranting di daerahnya dan melaksanakan kebijakan
Pengurus Wilayah dan Pengurus Besar untuk daerahnya serta keputusan-keputusan
Konferensi Cabang.
4. Pengurus Cabang Istimewa (PCINU)
Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU adalah kepengurusan
yang berada di luar negeri. Pembentukan Pengurus Cabang Istimewa (PCI)
Nahdlatul Ulama dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) atas
permohonan sekurang-kurangnya 40 orang anggota.
5. Pengurus Majlis Wakil Cabang (MWCNU)
Pengurus MWC adalah tingkat kepengurusan
organisasi Nahdlatul Ulama ditingkat kecamatan atau daerah yang
disamakan dengannya.
Majelis Wakil Cabang dapat dibentuk jika
sekurang-kurangnya terdapat 4 ranting dan pembentukannya disampaikan kepada
Pengurus Wilayah yang dikuatkan oleh Pengurus Cabang masa percobaan
selama 3 bulan. Pengesahan susunan Pengurus Wakil Cabang dikeluarkan
oleh oleh Pengurus Wilayah setelah mendapatkan persetujuan dari Pengurus
Cabang.
Pengurus Majelis Wakil Cabang mengkoordinir
Ranting-ranting di daerahnya dan melaksanakan kebijakan Pengurus Cabang dan
serta keputusan-keputusan Konferensi Majlis Wakil Cabang.
6. Pengurus Ranting NU (PRNU)
Pengurus Ranting ialah tingkat kepengurusan
organisasi Nahdlatul Ulama di tingkat Desa/Kelurahan atau daerah yang
disamakan dengannya. Dan apabila dipandang perlu karena keadaan daerah atau
penduduknya, maka dalah satu desa/kelurahan dapat dibentuk lebih dari satu
Ranting.
Pengurus Ranting dapat dibentuk jika
sekurang-kurangnya terdapat 15 anggota. Dan penetapan pembentukannya
disampaikan kepada Pengurus Cabang dengan dikuatkan oleh Pengurus Wakil Cabang,
setelah melalui masa percobaan 3 bulan.
Pengesahan Susunan Pengurus Ranting dikeluarkan oleh
Pengurus Cabang setelah mendapat persetujuan Pengurus Majelis Wakil Cabang.
Pengurus Ranting memimpin dan membina anggota-anggota
Nahdlatul Ulama di daerahnya dan melaksanakan kebijaksanaan Pengurus Cabang dan
Majelis WakilCabang untuk daerahnya serta keputusan-keputusan rapat anggota.
7. Pengurus Anak Ranting NU (PARNU)
Pengurus Anak Ranting ialah tingkat
kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di tingkat perdukuhan,lingkungan,
majlis ta’lim.
Pengurus Anak Ranting Nahdlatul Ulama dapat dibentuk
jika sekurang-kurangnya terdapat 25 anggota. Dan penetapan pembentukannya
diusulkan oleh anggota melalui Ranting kepada Pengurus Majlis Wakil Cabang
Nahdlatul Ulama.
Pembentukan anak ranting Nahdlatul Ulama diputuskan
oleh Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama melalui rapat Harian Syuriyah
dan Tanfidziyah.
Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama
mengeluarkan Surat Keputusan setelah melalui percobaan selama 3 (tiga) bulan.
BAB IV
BADAN OTONOM DALAM NAHDLATUL ULAMA
Badan otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul
Ulama yang berfunsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan
dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Diantara Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul
Ulama adalah sebagai berikut :
1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
Muslimat NU lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya
pada tanggal 15 – 21 Juni 1940 dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). Pada
wakt itu Muslimat masih menjadi bagian dari NU dan belum berdiri sendiri.
Baru pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, Jawa
Tengah, pada tanggal 26 – 29 Maret 1946, NUM disahkan menjadi organisasi yang
berdiri sendiri dan menjadi Badan Otonom (BANOM) Nahdlatul Ulama. Sehingga
namanyapun juga berubah menjadi Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat menjadi
Muslimat NU.
Muslimat NU didirikan dengan tujuan :
1) Terwujudnya wanita Islam yang bertaqwa kepada Allah
SWT, berilmu, beramal, cakap dan bertanggungjawab serta berguna bagi agama,
nusa, dan bangsa.
2) Terwujudnya wanita islam yang sadar akan kewajiban dan
haknya menurut ajaran islam, baik secara pribadi maupun sebagaibagian dari
anggota masyarakat.
3) Terlaksananya tujuan
jamiyyah Nahdlatul Ulama dikalangan kaum wanita, sehingga terwujud masyarakat
adil dan makmur yang merata dan diridlai Allah SWT.
Dalam usaha mencapai tujuannya, Muslimat NU melakukan
serangkaian kegiatan antara lain:
1) Mempelajari dan memperdalam serta mengamalkan ajaran islam ala Ahlisunnah
Wal Jamaah dengan sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
2) Mempersatukan gerak langkah kaum wanita umumnya dan wanita Nahdlatul Ulama
pada Khususnya dalam menciptakan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah
SWT.
3) Melaksanakan nilai-nilai budi pakerti utama dalam kehidupan sehari-hari
4) Meningkatkan kwalitas (mutu), harkat dan martabat wanita Indonesia umumnya
dan Muslimat NU Khususnya, guna memperkuat tanggungjawab terhadap agama, bangsa
dan negara
5) Mengusahakan agar wanita Indonesia mumnya dan Muslimat NU khususnya menjadi
istri-istri dan ibu-ibu yang baik guna pertumbuhan bangsa yang taat beragama
6) Bergerak secara aktif dalam lapangan peribadatan, sosial, kesehatan,
pendidikan, penerangan atau da’wah, ekonomi dan usaha-usaha kemasyarakatan
lainnya
7) Membina kerjasama dengan badan-badan dan organisasi wanita serta
lembaga-lembaga lain.
Muslimat NU mempunyai lambang organisasi yang dilukiskan dalam bentuk sebuah Bola Dunia yang dilingkari tali dikelilingi lima bintang yang terletak di atas garis katulistiwa dan empat bintang yang terletak di bawah garis katulistiwa. Sehingga jumlah bintang seluruhnya berjumlah sembilan buah. Di atasnya tertulis kata “MUSLIMAT”. Sedangkan di ujung tali kiri dan kanan tertulis huruf “NU”. Lambang Muslimat NU berwarna putih di atas dasar hijau, serta terdapat tulisan “Nahdlatul Ulama” dengan huruf arab yang memanjang pada garis katulistiwa.
Dalam organisasi Muslimat NU tingkatan kepemimpinan di
atur sebagai berikut:
1. Pimpinan Pusat (PP) untuk Tingkat Pusat
2. Pimpinan Wilayah (PW) untuk Tingkat Propinsi
3. Pimpinan Koordinator Daerah (PKORDA) untuk Tingkat eks Karesidenan
4. Pimpinan Cabang (PC) untuk Tingkat Kabupaten / Kota
5. Pimpinan Anak Cabang (PAC) untuk Tingkat Kecamatan
6. Pimpinan Ranting (PR) untuk Tingkat Kelurahan / Desa
Sedangkan permusyawaratan dalam Muslimat NU terdiri
atas:
1. Kongres dan Rapat Kerja Nsional, untuk tingkat pusat/nasional
2. Konfrensi Wilayah dan Rapat Kerja Wilayah, untuk tingkat provinsi
3. Konfrensi cabang dan rapat kerja cabang, untuk tingkat Kabupaten atau Kota
4. Konfrensi Anak Cabang dan Rapat Kerja Anak Cabang, untuk tingkat Kecamatan
5. Rapat Anggota untuk tingkat Desa atau Kelurahan.
Disamping itu, Muslimat NU juga mempunyai
perangkat-perangkat organisasi lain, seperti :
1. Yayasan Kesejahteraan Muslimat (YKM), yang merupakan sarana organisasi
untuk mewujudkan program-program Muslimat NU dibidang sosial, kesehatan,
kependudukan dan lingkungan hidup
2. Yayasan Bina Bhakti Wanita (YBBW) yang melaksanakan program Muslimat NU dalam
bidang pendidikan dan didirikan atas kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja
3. Himpunan Da’iyah Muslimat NU (HIDMAT NU), yang melaksanakan program
Muslimat NU dibidang da’wah, bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama.
Sebagai
pedoman berorganisasi, Muslimat NU selain mempunyai Peraturan
Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT), juga mempunyai
pedoman-pedoman lain dalam bentuk Pola Dasar Pengembangan Perjuangan Muslimat
NU, yang menyangkut keberadaannya sebagai Khalifah fil ardli, sebagai warga
negara Republik Indonesia, maupun sebagai bagian warga nahdliyin. Beberapa
pedoman, peraturan dan ketentuan-ketentuan lain yang ada di organisasi Muslimat
NU, dimungkinkan setiap kali mengalami perubahan dan pengembangan. Hal ini
untuk menyesuaikan dengan tuntutan perjuangan dan perkembangan zaman.
2. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Gerakan Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 14
Desember 1949 di Surabaya, sebagai kelanjutan dari “ANSHORU NAHDLATUL ULAMA”
(ANU) yang didirikan pada tanggal 24 April 1934.
Jika ditelusuri, sejarah kelahiran dan perkembangan GP
Ansor tidak bisaa dipisahkan dari sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama itu itu
sendiri. Pada tahun 1924, di Surabaya berdiri suatu organisasi pmuda yang
diberi nama “SYUBBANUL WATHAN” (Pemuda Tanah Air) dibawah pimpinan Abdullah
Ubaid. Kegiatan utamanya ialah da’wah keliling, latihan kepemimpinan dan
latihan bela diri.
Pada tahun 1930, Syubbanul Wathan melebur diri menjadi
“NAHDLATUS SYUBBAN” dan pada tahun 1931 namanya berubah menjadi “PERSATUAN
PEMUDA NAHDLATUL ULAMA (PPNU)”. Setahun kemudian, kata “Persatuan” dihilangkan,
menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU) dan kemudian berubah lagi menjadi ANSORU
NAHDLATUL ULAMA (ANU). Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tanggal 21
– 26 April 1934 ANU diterima menjadi bagian dari jamiiyah NU.
Selama revolusi fisik, ANU dibekukan. Akan tetapi
kemudian muncul ide dari Muhammad Husaini, seorang tokoh ANU dari surabaya,
untuk menghidupkan kembali ANU. Dalam pertemuan tersebut, dicapai kesepakatan
untuk menghidupkan kembali ANU dengan nama baru yaitu “GERAKAN PEMUDA ANSOR”
yang disingkat menjadi GP ANSOR.
Gerakan Pemuda Ansor didirikan dengan tujuan antara
lain:
1. Menyadarkan para pemuda islam akan kewajibannya memperjuangkan cita-cita
islam
2. Meningkatkan mutu pendidikan dan pengajaran
3. Mempergiat pendidikan rohani dan jasmani dalam rangka mewujudkan masyarakat
islam
4. Membimbing dan membantu tegaknya Kepanduan Ansor
5. Meningkatkan kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya, baik di dalam
maupun di luar negeri
Lambang yang dipakai oleh GP Ansor ialah gambar segi
tiga sama sisi dengan garis tebal sebelah luar dan garis tipis sebelah dalam.
Di dalamnya terdapat Bulan sabit dengan sembilan bintang yang mengelilinginya,
satu diantaranya yang terbesar, terletak di atas bulan sabit dengan lima garis
sinar ke atas, tiga ke bawah, dengan tulisan “ANSOR” dibawahnya, dan gambar
tersebut terlukis dengan warna putih di atas dasar warna hijau :
Susunan kepengurusan dalam organisasi GP Ansor terdiri
atas:
1. Pimpinan Pusat (PP GP Ansor) di tingkat pusat/nasional
2. Pimpinan Wilayah (PW GP Ansor) di tingkat Provinsi
3. Pimpinan Cabang (PC GP Ansor) di tingkat Kabupaten/Kota
4. Pimpinan Anak Cabang (PAC GP Ansor) di tingkat kecamatan dan
5. Pimpinan Ranting (PR GP Ansor) di tingkat Desa/Kelurahan.
Didalam organisasi GP Ansor dikenal istilah-istilah
untuk forum-forum permusyawaratan sebagai berikut :
1. Kongres untuk tingkat pusat/PP
2. Konferensi, untuk tingkat PW/Propinsi, PC/Kabupaten/ Kota, PAC/Kecamatan,
dan
3. Rapat Anggota, untuk tingkat PR/Ranting.
Sebagaimana organisasi yang lain, GP Ansor juga
mempunyai perangkat organisasi yang berada di bawah naungannya. Adapun perangkat
organisasi dalam GP Ansor yang terpenting ialah BANSER, singkatan dari “Barisan
Ansor Serbaguna”. Banser merupakan pasukan yang terlatih yang berfungsi serba
guna, terutama dibidang pertahanan dan keamanan, baik untuk kepentingan GP
Ansor sendiri, NU maupun masyarakat pada umumnya. Banser mulai didirikan pada
tahun 1968, bertepatan dengan Kongres GP Ansor VII di Jakarta.
3. Fatayat Nahdlatul Ulama
Fatayat NU didirikan pada 7 Rajab 1369 H/ 24 April
1950. Akan tetapi rintisannya sebenarnya sejak 1940. Diantara tokoh perintisnya
adalah : murthasiyah (Surabaya), KH.uzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah
(Sidoarjo). Fatayat NU resmi menjadi Badan Otonom NU setelah disahkan dalam
Muktamar NU ke-18, pada tanggal 20 April – 3 Mei 1950 di Jakarta.
Tujuan Fatayat NU adalah:
1. Membentuk pemudi atau wanita muda islam bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi
luhur, beramal, cakap, dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa,
dan bangsa.
2. Mewujudkan rasa kesetiaan terhadap asas, aqidah dan tujuan Nahdlatul Ulama
dalam menegakkan syariat islam.
3. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata serta diridlai Allah SWT.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, Fatayat NU
melakukan serangkaian usaha sebagai berikut:
1. Menghimpun dan membina pemudi atau wanita muda islam dalam suatu
organisasi.
2. Meningkatkan mutu pendidikan, pengajaran, ketrampilan dan memperluas ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.
3. Meningkatkan peranan wanita Indonesia daam segala bidang kehidupan
beragama, bernegara dan bermasyarakat.
4. Mempertinggi budi (aKH.lakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama yang menunjang syiar islam dan
kesejahteraan masyarakat.
6. Membina persahabatan dengan organisasi lain, terutama organisasi pemuda dan
wanita.
Lambang
Fatayat NU adalah setangkai bunga melati tegak di atas dua helai daun, sebuah
bintang besar dikelilingi delapan bintang kecil dengan dilingkari tali
persatuan. Lambang ini dilukiskan dengan warna putih di atas dasar hijau.
Kepengurusan Fatayat NU terdiri atas Pucuk
Pimpinan (PP), Pimpinan Wilayah (PW), Pimpinan Cabang (PC), Pimpinan Anak
Cabang (PAC), Pimpinan Ranting (PR). Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang
oleh kongres pada tingkat nasional (PP), Konferensi Wilayah pada tingkat
wilayah (PW), Konferensi Cabang pada tingkat cabang (PC), Konferensi Anak Cabang
pada tingkat anak cabang (PAC) dan Rapat Anggota ditingkat Ranting (PR).
Sedangkankeanggotaan Fatayat NU terdiri atas anggota biasa dan anggota luar
biasa.
4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah
badan otonom Nahldlatul Ulama yang berfungsi untuk membantu melaksanakan
kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di Semarang
pada tanggal 20 Jumadil AKH.ir 1373 H/ bertepatan dengan tanggal 24 Pebruari
1954, yaitu pada Konferensi besar (Konbes) LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah
M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Musthafa (Solo), Abdul Ghony Farida
(Semarang) dan Thalhah Mansur.
Ketua Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang
terpilih dalam Konferensi Segi Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30
April-1 Mei 1954 dengan melibatkan perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo,
Jombang, dan Kediri.
Pada tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim
Orde Baru, IPNU mengubah kepanjangannya menjadi Ikatan PelajarNahdlatul Ulama.
Sejak saat itu, segmen garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya.
Pada Kongres XIV di Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah
kepanjangannya menjadi “Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak
baru IPNU dimulai. Dengan keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya
di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU adalah terbentuknya pelajar
bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, beraKH.lak mulia dan berwawasan
kebangsaan serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam
menurut faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, dilakukan
serangkaian usaha, yaitu :
1. Menghimpun dan membina putra-putra Nahdlatul Ulama dalam satu wadah
organisasi
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan
perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna
terwujudnya KH.aira ummah
4. Mengusahakan jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain
selama tidak merugikan organisasi.
Lambang IPNU berbentuk bulat dengan warna dasar hijau,
berlingkar kuning ditepinya dengan diapit dua lingkaran putih. Dibagian atas
tercantum huruf IPNU dengan titik diantaranya dengan di apit oleh tiga garis
lurus pendek yang satu diantaranya
lebih panjang pada bagian kanannya. Semua berwarna putih. Di bawahnya terdapat
bintang sembilan, lima terletak sejajar yang satu diantaranya lebih besar
terletak di tengah dan empat bintang lainnya terletak mengapit membentuk sudut
segitiga. Semua berwarna kuning. Diantara bintang yang mengapit terdapat dua
kitab dan dua bulu angsa bersilang berwarna putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP
IPNU)
2. Pimpinan IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren,
SLTP/MTs, SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK
IPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres
pada tingkat nasional, Konferensi wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi
Cabang pada tingkat Cabang, Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan
Rapat Anggota pada tingkat Ranting. Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas
anggota biasa dan anggota istimewa.
5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) adalah
salah satu organisasi remaja yang menghimpun Pelajar Putri NU. Organisasi ini
didirikan pada tanggal 8 Rajab 1374 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Maret
1955 di Solo, Jawa Tengah. Salah seorang pendirinya adalah Ny. Umrah Mahfudha.
Semula organisasi ini merupakan bagian dari lembaga pendidikan maarif, tetapi
semenjak kongres di Surabaya pada tahun 1966, IPPNU melepaskan diri dari LP.
Maarif dan menjadi salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama.
Sebagai bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama,
IPPNU mempunyai tiga fungsi utama, yaitu :
1. Sebagai wadah berhimpun Pelajar Putri NU untuk melanjutkan
semangat jiwa dan nilai-nilai ke-NU-an.
2. Sebagai wadah komunikasi Pelajar Putri NU untuk menggalang
uKH.uwah islamiyah dan syiar islam.
3. Sebagai wadah kaderisasi Pelajar Putri NU untuk mempersiapkan
kaderisasi bangsa.
Dari ketiga fungsi di atas, maka tujuan
IPPNU adalah :
1. Terbentuknya kesempurnaan putri Indonesia yang beraKH.lakul karimah, dan
bertaqwa kepada Allah SWT.
2. Tegak dan berkembangnya syariat islam menurut faham Ahlus-sunnah wal jamaah
3. Terbentuknya kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional
4. Terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, IPPNU
melakukan usaha-usaha seperti :
1. Menghimpun dan membina Pelajar Putri islam dalam wadah
organisasi.
2. Mempersiapkan kader-kader intelektual sebagai proses perjuangan bangsa.
3. Mengusahakan tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan
perjuangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
4. Membina persahabatan dengan organisasi putri islam pada Khususnya dan
organisasi lain pada umumnya selama tidak merugikan kepentingan organisasi
IPPNU.
Lambang organisasi
IPPNU berbentuk segitiga sama kaki dengan ukuran alas sama dengan tinggi. Warna
dasarnya hijau, bergaris dua warna kuning di tepinya. Isi lambang terdiri atas:
Bintang sembilan. Satu diantaranya di tengah, empat buah menurun di sisi
sebelah kiri dan empat buah lainnya di sisi sebelah kanan dan semuanya berwarna
kuning. Di bawah bintang terdapat dua buah kitab dan dua buah bulu ayam
bersilang dengan warna putih. Di bawah blu ayam terdapat tulisan IPPNU dengan
lima titik di antaranya dan dilukis dengan warna putih.
Struktur organisasi Ikatan Pelajar Putri
Nahdlatul Ulama (IPPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pucuk
Pimpinan IPPNU (PP IPPNU)
2. Pimpinan IPPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPPNU (PW IPPNU)
3. Pimpinan IPPNU di tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPPNU (PC
IPPNU)
4. Pimpinan IPPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPPNU (PAC IPPNU)
5. Pimpinan IPPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPPNU (PR IPPNU)
6. Pimpinan IPPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren,
SLTP/MTs, SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPPNU (PK
IPPNU).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh
kongres pada tingkat nasional, Konferensi wilayah pada tingkat wilayah,
Konferensi Cabang pada tingkat Cabang, Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak
cabang dan Rapat Anggota pada tingkat Ranting. Sedangkan keanggotaan IPNU
terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
B. Badan Otonom Nahdlatul Ulama yang Berbasis Profesi dan Kekhususan
Diantara badan otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul
Ulama dalam bidang yang berbasis profesi dan kekhususan adalah:
1. Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah.
2. Jam’iyyatul Qurro’ wal huffadz
3. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
4. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
5. Pagar Nusa Nahdlatul Ulama (PN NU)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU).
Saya senang bisa mengetahui sejarah NU, seperti arti NU, arti lambang NU, Tujuan NU, usaha usaha NU, para tokoh tokoh pendiri NU, sejarah para pendiri NU,lambang lambang nya.saya senang bisa menjadi orang NU, dan saya senang bisa mempelajarinya dan mengetahuinya yg sebelum nya blm saya ketahui
BalasHapusSaya senang bisa mengetahui sejarah NU, seperti arti NU, arti lambang NU, Tujuan NU, usaha usaha NU, para tokoh tokoh pendiri NU, sejarah para pendiri NU,lambang lambang nya.saya senang bisa menjadi orang NU, dan saya senang bisa mempelajarinya dan mengetahuinya yg sebelum nya blm saya ketahui
BalasHapus(🙏🙏🙏🙏)
BalasHapus